Hmm.. kali ini lagi menyempatkan waktu untuk membaca cerpen karya A.A Navis. Info dari wikipedia.. Robohnya Surau Kami adalah sebuah kumpulan cerpen sosio-religi karya A.A. Navis. Cerpen ini pertama kali terbit pada tahun 1956, yang menceritakan dialog Tuhan dengan Haji Saleh, seorang warga Negara Indonesia yang selama hidupnya hanya beribadah dan beribadah. Cerpen ini dipandang sebagai salah satu karya monumental dalam dunia sastra Indonesia.
Yuk langsung aja baca cerpennya!
Yuk langsung aja baca cerpennya!
ROBOHNYA SURAU KAMI
Ali Akbar Navis
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota
kelahiranku dengan menumpang bis,
Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira
sekilometer dari pasar akan sampailah
Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan,
simpang yang kelima, membeloklah
ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan
temui sebuah surau tua. Di depannya
ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah
pancuran mandi.
Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua
yang biasanya duduk di sana
dengansegala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat.
Sudah bertahun-tahun ia
sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya
Kakek.
Sebagai penajaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia
hidup dari sedekah yang
dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat
seperempat dari hasil
pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun
orang-orang mengantarkan fitrah Id
kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia
lebih di kenal sebagai pengasah pisau.
Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang
suka minta tolong kepadanya,
sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa. Orang-orang
perempuan yang minta tolong
mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai
imbalan. Orang laki-laki yang
minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang.
Tapi yang paling sering
diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah
meninggal. Dan tinggallah surau itu
tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai
tempat bermain, memainkan
segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan
kayu bakar, sering suka
mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.
Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran
yang mengesankan suatu
kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian
cepat berlangsungnya. Secepat
anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti
pekayuannya. Dan yang
terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak
hendak memelihara apa yang
tidak di jaga lagi. Dan biang keladi dari kerobohan ini
ialah sebuah dongengan yang tak dapat
disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya.
Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek
gembira menerimaku, karena
aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu
muram. Di sudut benar ia duduk
dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya.
Pandangannya sayu ke depan,
seolah-olah ada sesuatu yang yang mengamuk pikirannya.
Sebuah belek susu yang berisi
minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan
pisau cukur tua berserakan di
sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu
durja dan belum pernah salamku
tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk
disampingnya dan aku jamah pisau itu.
Dan aku tanya Kakek,
“Pisau siapa, Kek?”
“Ajo Sidi.”
“Ajo Sidi?”
Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu.
Sudah lama aku tak ketemu
dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar
bualannya. Ajo Sidi bisa
mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh
sepanjang hari. Tapi ini jarang
terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai
pembual, sukses terbesar
baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya
menjadi model orang untuk
diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja
orang-orang di sekitar
kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya.
Ketika sekali ia menceritakan
bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang
yang ketagihan menjadi
pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk
selanjutnya pimpinan tersebut kami
sebut pimpinan katak.
Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatang Ajo Sidi
kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah
membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang
mendurjakan Kakek? Aku ingin
tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi. “Apa ceritanya, Kek?”
“Siapa?”
“Ajo Sidi.”
“Kurang ajar dia,” Kakek menjawab.
“Kenapa?”
“Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini,
menggoroh
tenggorokannya.”
“Kakek marah?”
“Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang
tua menahan ragam. Sudah
lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak
karenanya, ibadatku rusak
karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat,
bertawakal kepada Tuhan. Sudah
begitu lama aku menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan
mengasihi orang yang sabar
dan tawakal.”
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek
jadi memuncak. Aku tanya
lagi Kakek, “Bagaimana katanya, Kek?”
Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali.
Karena aku telah berulang-ulang
bertanya, lalu ia yang bertanya padaku, “Kau kenal padaku,
bukan? Sedari kau kecil aku
sudah disini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang
kulakukan semua, bukan?
Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?”
Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau
Kakek sudah membuka
mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya
sendiri.
“Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri,
punya anak, punya keluarga
seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri.
Aku tak ingin cari kaya, bikin
rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah
Subhanahu wataala. Tak
pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku
membunuhnya. Tapi kini aku
dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan
kalau itu yang kulakukan,
sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi
kepada-Nya? Tak
kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan
pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku
pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud
kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya.
Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya.
Astagfirullah kataku bila aku
terkejut.Masya Allah kataku bila aku kagum. Apa salahnya
pekerjaanku itu? Tapi kini aku
dikatakan manusia terkutuk.”
Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, “Ia
katakan Kakek begitu, Kek?”
“Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah
kira-kiranya.”
Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas
kepadanya. Dalam hatiku aku
mengumpati Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan
ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.
“Pada suatu waktu, ‘kata Ajo Sidi memulai, ‘di akhirat Tuhan
Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya.
Di tangan mereka
tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyak
orang yang diperiksa. Maklumlah
dimana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang yang
diperiksa itu ada seirang yang di
dunia di namai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum
saja, karena ia sudah begitu
yakin akan di masukkan ke dalam surga. Kedua tangannya
ditopangkan di pinggang sambil
membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika
dilihatnya orang-orang yang
masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan
ketika ia melihat orang yang
masuk ke surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak
mengatakan ‘selamat ketemu
nanti’. Bagai tak habishabisnya orang yang berantri begitu
panjangnya. Susut di muka,
bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan
segala sifat-Nya.
Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum
bangga ia menyembah Tuhan. Lalu
Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
‘Engkau?’
‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh
namaku.’
‘Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya
buat engkau di dunia.’
‘Ya, Tuhanku.’
‘apa kerjamu di dunia?’
‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’
‘Lain?’
‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku
menyebut-nyebut nama-Mu.’
‘Lain.’
‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat
menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu
menjadi buah bibirku
juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu
untuk menginsafkan umat-Mu.’
‘Lain?’
Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan
segala yang ia kerjakan. Tapi ia
insaf, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada
lagi yang belum di katakannya.
Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya.
Ia tak tahu lagi apa yang harus
dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api
neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia
menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.
‘Lain lagi?’ tanya Tuhan.
‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar,
lagi Pengasih dan Penyayang, Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu
mencobakan siasat
merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga
Tuhan bisa berbuat lembut
terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.
Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’
‘O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’
‘Lain?’
‘Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang
lupa aku katakan, aku pun
bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.’
‘Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain
yang kauceritakan tadi?’
‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’
‘Masuk kamu.’
Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka.
Haji Saleh tidak mengerti
kenapa ia di bawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang di
kehendaki Tuhan daripadanya dan
ia percaya Tuhan tidak silap.
Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak
teman-temannya di dunia
terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak
mengerti dengan keadaan dirinya,
karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang
ibadatnya dari dia sendiri.
Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali
ke Mekah dan bergelar syekh
pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa
mereka dinerakakan
semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun,
tak mengerti juga.
‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian,
‘Bukankah kita di suruh-Nya taat
beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan
selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.’
‘Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri
dengan kita semua, dan tak kurang
ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang diantaranya.
‘Ini sungguh tidak adil.’
‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan
Haji Saleh.
‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan
kita.’
‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap
memasukkan kita ke neraka ini.’
‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji
Saleh.
‘Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’
suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.
‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.
‘Apa kita revolusikan juga?’ tanya suara yang lain, yang
rupanya di dunia menjadi pemimpin
gerakan revolusioner.
‘Itu tergantung kepada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang
penting sekarang, mari kita
berdemonstrasi menghadap Tuhan.’
‘Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak
yang kita perolah,’ sebuah
suara menyela.
‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.
Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.
Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’
Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke
depan. Dan dengan suara yang
menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya: ‘O,
Tuhan kami yang Mahabesar.
Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat
beribadat, yang paling
taat menyembahmu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut
nama-Mu, memuji-muji
kebesaran- Mu,mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya.
Kitab-Mu kami hafal di
luar kepala kami.Tak sesat sedikitpun kami membacanya. Akan
tetapi, Tuhanku yang
Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau
memasukkan kami ke neraka.
Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di
sini, atas nama orang-orang yang
cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kau jatuhkan
kepada kami ke surga
sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’
‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.
‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia,
Tuhanku.’
‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’
‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’
‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan
berbagai bahan tambang
lainnya, bukan?’
‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’
Mereka mulai menjawab serentak.
Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya
kembali. Dan yakinlah mereka
sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada
mereka itu.
‘Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman
tumbuh tanpa di tanam?’
‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’
‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’
‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’
‘Negeri yang lama diperbudak negeri lain?’
‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’
‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke
negerinya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi.
Sungguh laknat mereka itu.’
‘Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu
selalu berkelahi, sedang hasil
tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami
tak mau tahu. Yang penting bagi
kami ialah menyembah dan memuji Engkau.’
‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’
‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’
‘Karena keralaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat,
bukan?’
‘Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua
pintar mengaji. Kitab-Mu
mereka hafal di luar kepala.’
‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak di
masukkan ke hatinya, bukan?’
‘Ada, Tuhanku.’
‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga
anak cucumu teraniaya semua.
Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya
untuk anak cucu mereka. Dan
engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling
menipu, saling memeras. Aku beri
kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka
beribadat saja, karena beribadat
tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang
aku menyuruh engkau
semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini
suka pujian, mabuk di sembah
saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. hai, Malaikat,
halaulah mereka ini kembali ke
neraka. Letakkan di keraknya!”
Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi.
Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga
kepastian apakah yang akan di
kerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak
berani bertanya kepada Tuhan. Ia
bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka itu.
‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di
dunia?’ tanya Haji Saleh.
‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan
dirimu sendiri. Kau takut
masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau
melupakan kehidupan kaummu
sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga
mereka itu kucar-kacir
selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu
egoistis. Padahal engkau di dunia
berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan
mereka sedikit pun.’
Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita
yang memurungkan Kakek.
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku
berkata apa aku tak pergi
menjenguk.
“Siapa yang meninggal?” tanyaku kagut.
“Kakek.”
“Kakek?”
“Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam
keadaan yang mengerikan sekali.
Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur.”
“Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya
cepat-cepat meninggalkan istriku yang
tercengang-cengang.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan
istrinya saja. Lalu aku tanya dia.
“Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.
“Tidak ia tahu Kakek meninggal?”
“Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan
buat Kakek tujuh lapis.”
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar
segala peristiwa oleh
perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab,
“dan sekarang kemana dia?”
“Kerja.”
“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.
“Ya, dia pergi kerja.”
Comments
Post a Comment