Pasti sering denger kan ya quotes “bahagia itu sederhana”? Mungkin maksudnya adalah menjadi
bahagia itu ngga perlu ribet, ngga perlu kebanyakan term and condition, cukup yang sederhana yang simple. Dapet coklat
dari pacar, bahagia. Parkir ngga mbayar, bahagia. Dapet pulsa nyasar, bahagia.
Semudah itu untuk menjadi bahagia, bukan? Tapi saya rasa asbabun nuzul dari quotes
tersebut memang dikarenakan kondisi dunia saat ini penuh dengan kerumitannya
sendiri untuk menuju bahagia. Banyak orang yang terlalu memaksa dirinya
memenuhi keinginannya untuk bahagia dan justru ndak bahagia. Malah susah,
mengeluh, dan sebagainya. Banyak orang yang dipenuhi dengan deadline, dengan ke-riweuh-annya menjalani hidup, serba ribet, serba kesusu lan kemrungsung. Seperti tidak ada zen
di dalam hidupnya, kata seorang Buddhist. Harus punya ini biar seneng, harus
kesana biar seneng, harus sama dia biar seneng, kalo ngga gitu ngga bakal
bahagia. Kalo ngga sama kamu, mending mati. Yaolo mba sebegitunya~
Kata “itu” sebagai penghubung antar frase menurut saya
memiliki makna hasil yang setara. Bahagia itu sederhana, berarti bisa juga
dimaknai sederhana itu bahagia. Saya sekarang sedang dalam proses belajar yang
kedua, “sederhana itu bahagia”. Saya tergolong orang yang tidak mbakat ngrasani nek ngga ada yang
ngompori atau paling engga nek raono
kancane, jadi saya males sekali menengok ke lain arah untuk melihat orang
yang sederhana itu bahagia (hidupnya). Walaupun sering terperangkap untuk
menonton acara televisi yang menyajikan kehidupan orang kampung yang susah,
atap rumahnya modifikasi antara genteng-seng-dan terpal, kasur tidur yang
banyak tambalannya dan rutinitas kakek-kakek tua yang tiap pagi mencari kayu
bakar tapi kehidupan mereka nampak bahagia, saya masih belum percaya seutuhnya,
karena kita semua tahu kalo tv lebih banyak bohongnya dibanding abu nawas.
“wah kalo gitu, ngga maju maju dong hidupnya. Ngga ada
peningkatan”
Ngga juga. Mencegah lebih baik daripada mengobati, begitu
juga dengan sederhana. Menjadi sederhana lebih baik daripada rakus diri. Saya
sudah cukup banyak melihat temen-temen yang “dimakan kerjaan”, jadi hidupnya
untuk kerja, bukan kerja untuk hidup. Dari melek sampe merem ngurusi kerjaan.
Akhirnya stress. Ih mending engga. Untuk masalah kerja dan sekolah – saya anggep
itu menjadi satu, karena saya masih muda dan perlu banyak cari ilmu, harus
maksimal. Tapi harus tahu batasan diri. Tidak semua kerjaan harus dihandle sendiri, atau tidak semua tugas
harus dikerjakan saat itu juga. Badannya cuman satu, kalo rusak ngga ada
gantinya. Tetep kerja, tetep sekolah, tapi tetep menjaga diri. Ndak edan.
Sebagai anak muda, menjadi sederhana dalam keinginan adalah
hal yang sulit, menantang tapi asik. Menjadi “ngerti butuh” dan “ora
gumunan” itu susah. Karena susah, maka saya mulai belajar dari sekarang. “Ngerti butuh” berarti sudah mulai
belajar mengenal apa yang harus dipenuhi kebutuhan pribadi dan sosialnya. Mulai
belajar rencana ini dan itu. Dan berusaha menghilangkan yang tersier. Yang penting-penting aja. Saya
selalu punya mind set kayak pendaki
gunung, bawa yang penting-penting aja. Kalo ngga perlu perlu banget ya ngga
usah punya. Contoh, saya perlu ngetak-ngetik, browsing internet, dan sedikit
aplikasi edit gambar, maka saya harus punya laptop. Apakah yang perlu spec tinggi, retina display, processor
teranyar dan RAM maksimal? Perlu punya mekbuk
pro 21 inci? Tidak. Contoh lagi, saya perlu ponsel untuk push email, foto
sederhana, chat apps, buka office,
dan aplikasi multimedia yang biasa, maka saya perlu ponsel pintar yang cukupan.
Dan saya tidak suka ngegame di ponsel, pegel di mata. Apakah saya perlu beli
hape seharga enam juta dan punya aplikasi segudang? Tidak. Begitulah.
“Ora gumunan”
lebih susah lagi, jaman dimana privasi hampir tidak ada, kita bisa tahu mas itu
punya apa dan mbak itu habis piknik kemana dalam sekejap, rasa iri dan
pengin-sama-kayak-temennya semakin meningkat. Tidak sedikit mba-mba yang
memaksakan memakai hotpants demi
ikutan tren. Tidak sedikit juga teman yang punya sepatu harga sejuta lebih
cuman buat ngampus dan nongkrong. Ikutan pasang behel biar kalo makan ngabisin
waktu dua jam. Ya.. ya.. begitulah.. ikutan orang lain agar nampak bahagia.
Padahal ngga butuh.
Menjadi sederhana itu bahagia. Bahagia itu nikmat. Perasaan
bahagia karena bisa mengerjakan tugas dengan peralatan minim yang saya miliki.
“Ngga kalah juga hasil kerjaan saya sama temen yang leptopnya seharga (motor) tossa”.
Perasaan bahagia karena punya sepatu yang udah tiga tahun lebih tapi ngga jebol
jebol. Perasaan bahagia karena lihat temen cewek yang mukanya kayak badut
karena alisnya disetting entah
gimana. Perasaan bahagia karena “ternyata duit segini cukup cukup aja buat idup
sebulan.”
Menjadi sederhana itu bahagia.
Comments
Post a Comment